"SANGGAR SAREH BUDOYO"
Kergan Rt 03 Rw 11 Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta
Kode Pos : 55772
Telp : (0274) 6460325

Hand Phone : 08156302495
Email :
Tardalang@yahoo.com

Friday, October 9, 2009

Gerongan

Gerongan adalah suatu tembang yang disuarakan oleh wiraswara pada waktu gending melantun.

Cakepan gerongan salisir :

  • Parabe Sang Smarabangun, sepat domba kali oya, aja dolan lan wong priya, gerameh nora prasaja
  • Garwa Sang Sindura Prabu, wicara mawa karana, aja dolan lan wanita, tan nyata asring katarka.
  • Sambung langu munggweng gunung, kunir wisma kembang rekta, aja nggugu hujarira, wong lanang sok asring cidra
  • Gentha geng kang munggwing panggung, jawata pindha Harjuna, jaman mengko kawruhana, wong wadon keh ngamandak

Cekapan kinanthi 1:

  • Punapata mirah ingsun, prihatin waspa gung mijil, tuhu dhahat tanpa karya, sengkang rinemekan Gusti, gelung rinusak sekarnya, sumawur gambir melathi
  • Upama tyase mangunkung, mulating sira dyah ari, sayekti melu mangarang, telase riris gumanti, ingkang tarangggana sumyar, remek dening salah kapti
  • Marmanta mangrurah gelung, lintange merang ningali, mring langening kiswanira, miwah kidang kidang isin, miyarsa ing swaranira, si kidang umpetan tebih
  • Tuwin kombang kombang geng kung, miyarsa swaranta yayi, kadi merange si kidang, anoning liringireki, mangkana susahing kidang, malah tyarsira lir kanin
  • Kabot kabotan lung gadhung, wekasan mungkret amuntir, mulat nggonira saduwa, malah malah cengkir gadhing, kang tiba mrih dherangkalan, umpetan mring jurang trebis

Cakepan kinanthi 2 :

  • Mideringrat hangalangut, lelana njajah nagari, mubeng tepining samodra, sumengka hanggraning wukir, analasak wanawasa, tumuruning jurang trebis
  • Sayekti kalamun suwung, tangeh miriba kang warni, lan sira pepujaningwang, manawa dhasaring bumi, miwah luhuring akasa, tuwin jroning jalanidi
  • Iku ta sapa kang weruh, nanging kiraning tyas mami, sanadyan ing bawana, anas kang madha warni, maksih sumeh semu sira, ruruh rarase respati
  • Myang dedeg pangadegipun, sedeng sedhete mantesi, sembada genging sarira, lelewane milangeni, wiraga raga karana, murwedah hyang hyanging bumi
  • Manis gapyak lukita rum, dhemes luwes merak ati, susila tyase ngumala, solahe nyudara werdi, jumawut geng kang salaga, pari kudu sun ngengeri

Cakepan kinanthi 3 :

  • Nalikanira ing dalu, wong agung mangsah semedi, sirep kang bala wanara, sadaya wus sami guling, nadyan ari Sudarsana, wus dangu nggenira guling
  • Kukusing dupa kumelun, ngeningken tyas sang apekik, kawengku sagung jajahan, nanging sanget hangikibi, sang resi Kanekaputra, kang anjok saking wiyati
  • Kagyat risang kapirangu, rinangkul kinempit kempit, dhuh sang retnaning bawana, ya ki tukang walang ati, ya ki tukang ngenesing tyas, ya ki tukakng kudu gering
  • Teka ndadak melu melu, kaya budhine wong ceplik, lali yen kalokaningrat, ing bawana amurwani, mustikaning jagad raya, dhemen lalen sanggarungi
  • Sun iki ngembani wuwus, Dewa Sang Hyang Hodipati, Bathara Suksma kawekas, sira ingkang den paringi, ingkang maosandilata, panguripe wong sabumi.

Sumber : sukolaras.wordpress.com

Tuesday, April 21, 2009

Negara Jadi Taruhan

Ki Taryono, Dalang Ruwat Bantul Jogjakarta:

“NEGARA JADI TARUHAN JUDI”

Betapa pun optimisnya sementara pihak terhadap Pemilu 2009, faktanya masyarakat resah oleh banyaknya calon legislatif yang tidak mumpuni. Banyak caleg tidak punya kapabilitas, kompetensi dan integritas. Diam-diam, money politik lalu dilakukan. Bak judi dadu Pandawa dan Kurawa, negara menjadi taruhannya.

POSMO-Sebelum kampanye damai jelang pileg 2009 dimulai, masyarakat sudah jauh hari mengetahui banyak calon legislatif dari berbagai partai melalui gambar-gambar atau baliho. Di antara banyak calon legislatif yang bermunculan, ada banyak caleg wajah baru. Ironisnya, sedikit saja caleg wajah baru itu yang dikenal masyarakat sebagai kapabel, kompeten dan berintegritas tinggi terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. Sebaliknya, masyarakat dibuat resah oleh kemunculan caleg wajah baru yang sungguh sebelumnya tak pernah terlibat sama sekali dalam tata pemerintahan di tingkat dusun sekali pun. Bahkan, banyak caleg hanya berpendidikan menengah.

Beban target Pemilu 2009 dan pola pemilihan sekarang yang mendasarkan kekuatan partai pada keberhasilan para caleg-nya, membuat partai memunculkan banyak caleg. Sementara, jumlah partai sekarang jauh lebih banyak dari jumlah partai di zaman Pak Harto. Kebutuhan akan caleg pun meningkat. Ironisnya, SDM yang tersedia tidak mencukupi.. Alhasil, banyak partai asal comot orang untuk dijadikan caleg. Kompetensi dan kapabilitas bukan lagi syarat utama. Terpenting orang itu memiliki banyak massa. Jadilah, tak sedikit partai terpaksa mengambil caleg dari kalangan preman yang memang seringkali justru memiliki banyak teman atau massa.

Sebagaimana preman yang identik dengan Kurawa, tabiatnya suka berjudi untuk mendapatkan keuntungan dengan mudah tanpa kerja keras. Semangat menjagokan diri sebagai caleg pun lalu bukan soal perjuangan ideologi atau konsep membangun negeri. Melainkan sekedar untung-untungan. Persis sama dengan prinsip judi. Caleg yang demikian kemudian membagi-bagikan uang (money politic) sebagai modal taruhan. Jika menang, uang itu akan bisa dikembalikan dengan berbagai kuasa seorang anggota dewan. Kalau pun kalah, kekecewaan tak lebih dari sekedar kehilangan uang. Benarkah demikian?

Pandawa-Kurawa

Ki Taryono, Dalang Ruwat di Bantul-Jogjakarta kepada posmo mengatakan, pileg dengan cara-cara money politic bukan sekedar pertaruhan harta. Melainkan, nasib bangsa dan negara. Ibarat judi dadu antara Pandawa dan Kurawa, perjudian itu bukan hanya menimbulkan prahara politik saja. Tetapi, juga dendam kesumat Dewi Drupadi yang kehormatannya nyaris pula menjadi taruhan. Dalam lakon wayang, jelasnya, terbukti sifat Kurawa tak pernah bisa berubah. Selalu menggunakan cara-cara licik untuk meraih kekuasaan. Seperti itu pula sebenarnya isi jagat ini. “Ada Kurawa dan ada Pandawa”, kata dalang sepuh yang sudah mendalang sejak di bangku kelas IV SD, 1951 silam.

Dalam lakon wayang, sambung Ki Taryono, konflik antara Pandawa dan Kurawa berlangsung abadi. Sampai kemudian terjadi perang baratayudha yang mengakhiri segala konflik Pandawa dan Kurawa. Sejatinya, dalam perang maha besar itu semua kubu kehilangan negaranya. Kemenangan sejati hanya diperoleh Yudisthira. Kemenangan hakiki menuju Sang Khalik.

Apakah, bangsa ini akan bernasib sama dengan yang terjadi dalam lakon wayang?
Ki Taryono tak berani memastikan. Dengan kelembutan Jawa-nya, Ki Taryono hanya mengatakan, dibutuhkan panggraita batin lebih dalam untuk mengupas fenomena pileg 2009 ini.


Jika melihat jauh ke dalam realitas sosial-politik sekarang, gambaran Pandawa dan Kurawa memang terlihat jelas. Ada caleg yang benar-benar ingin merubah keadaan dengan semangat clean government dan menjauhi money politic. Ada pula caleg yang tak lagi punya rasa malu terhadap kekurang-layakan dirinya sendiri. Apakah ini pertanda perang baratayudha sebagaimana lakon wayang benar akan terjadi? Ki Taryono tak berani menjawab. KOKO T.

Sumber :http://derapkaki.multiply.com/journal
Tabloid Posmo Yogyakarta, Membuka Mata Hati

Gaya Ruwat Ki Taryono

Ki TARYONO
Dalang Ruwat Yogyakarta
UPACARA RUWATAN SETENGAH KELIR DI NGENTAK, BANGUNJIWA, KASIHAN, BANTUL

Asap kemenyan hampir memenuhi seluruh ruangan yang dijadikan tempat upacara ruwatan di Dusun Ngentak, Bangunjiwa, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Dilakukan oleh Ki Taryono Dalang Kondang dari Kergan, Tirtomulyo, Kretek, Bantul. Bau harum kemenyan demikian menyengat. Sajen ruwatan tertata dengan rapi pada enam buah meja. Sedangkan sajen lainnya diletakkan di tanah dan digantung di langit-langit tratag tempat upacara. Sebagian lagi digantungkan pada sisi kelir. Sementara itu di panggung, sang dalang dengan penuh keseriusan mementaskan lakon wayang Murwakala. Gambaran semacam itu secara umum juga dapat ditemukan di tempat upacara ruwatan yang lain di berbagai tempat di Jawa.

Pada upacara ruwatan semacam itu sajen yang disajikan untuk penyelenggaraan upacara ruwatan harus lengkap. Sajen itu di antaranya berupa tumpeng tujuh warna, tumpeng robyong, nasi ambeng lengkap dengan lauk pauknya, nasi gurih, ingkung ayam, pisang raja setangkep, cermin, gunting, pisau, nasi golong, boreh, beras dan uang sawur, 7 macam rujak, 7 macam jenang, jajan pasar, bantal, sapu lidi, pecut, kembang telon, uang wajib, kembang melati, kembar mayang, tumpeng kuning putih, tikar, kelapa gading, payung kertas, bakul dari bambu, siwur (gayung) kayu, ketupat, selongsong ketupat, sajen buwangan, pala gumantung, pala kesimpar, pala kependem, iwen-iwen (unggas), alat pertanian, gecok, padi, tebu, berbagai jenis kain, gudhangan, dan berbagai jenis burung khas peliharaan orang Jawa masa lalu (tekukur, perkutut, dan merpati).

Upacara ruwatan di Dusun Ngentak ini dilaksanakan untuk meruwat anak kedhana-kedhini yakni Siswinarno dan Siswinarni. Keduanya merupakan putra dari Bapak Praptosudiono. Kedhana-kedhini adalah istilah yang dikenakan pada dua orang anak, laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga inti. Kedhana-kedhini dalam pandangan masyarakat Jawa termasuk salah satu kategori sukerta. Untuk itulah kedhana-kedhini termasuk kategori orang yang harus diruwat. Jika hal itu tidak dilakukan, maka dipercaya bahwa anak tersebut akan mendapatkan berbagai halangan di dalam perjalanan hidupnya. Dalam kerangka itu orang yang bersangkutan akan menjadi mangsa dari Batara Kala.

Batara Kala adalah raksasa anak Dewi Uma dengan Batara Guru. Dalam dunia pewayangan diceritakan bahwa pada suatu ketika Dewi Uma dan Batara Guru berjalan-jalan dengan menaiki Lembu Andini yang dapat terbang. Perjalanan mereka sampai di atas sebuah samudera luas. Hari itu telah menapaki waktu senja. Cahaya matahari senja yang menerpa tubuh Dewi Uma nampak mempesonakan di mata Batara Guru. Seketika timbul hasrat berahinya. Di atas punggung Lembu Nandi itu pula Batara Guru mengajak Dewi Uma untuk bersetubuh. Namun hal ini ditolak oleh Dewi Uma. Akibat nafsu yang tidak terbendung air mani Batara Guru jatuh di atas samudera. Cerita tentang kehadiran Batara Kala sendiri setidaknya bisa dilihat pada sumber-sumber seperti Kakawin Partayajna, Sudamala, Smaradahana, Krsnakalantaka, Kitab Manikmaya, Sarasilah Wayang Purwa, dan Serat Kandhaning Ringgit Purwa.

Mani yang jatuh di atas samudera ini akhirnya menjelma menjadi raksasa yang bernama Kala. Ia meminta makan jenis manusia kepada Batara Guru. Batara Guru mengijinkan dengan syarat-syarat tertentu, yakni orang-orang yang digolongkan sebagai orang sukerta. Orang-orang yang termasuk sukerta ini selain kedhana-kedhini di antaranya adalah ontang-anting (anak tunggal laki-laki dalam sebuah keluarga), unting-unting (anak tunggal perempuan), kembang sepasang (dua anak perempuan), pandawa (anak lima laki-laki semua), dan sebagainya.

Akan tetapi Batara Narada, yang mencermati syarat-syarat yang diajukan Batara Guru itu, menilainya masih terlalu longgar. Demi menyelamatkan manusia dari Batara Kala kemudian diusulkan agar Batara Wisnu turun ke arcapada untuk meruwat Batara Kala. Caranya, Batara Wisnu menyamar menjadi dalang dengan nama Dalang Kanda Buwana.
Pada suatu ketika Batara Kala mengejar seorang pemuda yang bernama Jaka Jatusmati untuk dimangsa. Setelah beberapa kali bersembunyi Jaka Jatusmati bersembunyi di arena pementasan wayang yang dilakukan oleh Dalang Kanda Buwana. Di tempat ini Jaka Jatusmati mendapat perlindungan dari Dalang Kanda Buwana. Bahkan ia juga diruwat dan diaku anak oleh Dalang Kanda Buwana.

Semua rajah yang ada di tubuh Batara Kala pun dibaca oleh sang dalang. Dengan demikian, Batara Kala mengaku kalah. Untuk itu Batara Kala diperintahkan untuk tinggal di Alas Krendawahana, sebuah hutan yang dikenal angker atau kerajaan jin, setan, hantu, dan sebangsanya. Dengan itu pula Batara Kala dilarang mengganggu anak/orang yang telah diruwat oleh sang dalang sebab setiap anak yang diruwat secara otomatis menjadi anak angkat dari dalang yang meruwatnya. Batara Kala bersedia tinggal di Alas Krendawahana dengan syarat minta didoakan Santi Puja atau mantra penyucian.

Pementasan wayang Murwakala di Ngentak tersebut disebut dengan pakeliran setengah kelir. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa kelir yang digunakan untuk mementaskan wayang memang hanya digunakan setengahnya (dipelorotkan hingga separo). Sedangkan setengah bagian lainnya dibiarkan bolong atau terbuka. Alasannya, hal itu digunakan untuk tempat berdialog antara Dalang Kanda Buwana dan Batara Kala yang masuk ke arena pementasan wayang.

Pada prinsipnya urut-urutan acara upacara ruwatan adalah sebagai berikut. Pertama, pementasan wayang dengan lakon Murwakala. Pada pementasan itu semua orang yang diruwat duduk di belakang kelir dengan pakaian putih-putih (mori) untuk menandakan niat suci mereka. Di tempat itu mereka menyimak seluruh penceritaan sang dalang. Sesudah acara pementasan selesai orang yang diruwat dipotong ujung rambutnya oleh sang dalang. Ujung rambut ini nantinya akan dilarung bersama pakaian dalam dan kuku orang yang diruwat. Usai memotong rambut, orang yang diruwat dimandikan dengan air kembang sebagai bentuk penyucian diri. Setelah berganti pakaian kering mereka melakukan sungkeman kepada orang tua dan saudara tua. Acara ruwatan pun usai. Ayu, ayu swarga lan donya ginawe ayu……


Sumber : Tim Tembi: sartono, p.a. herjaka h.s
www.tembi.org