"SANGGAR SAREH BUDOYO"
Kergan Rt 03 Rw 11 Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta
Kode Pos : 55772
Telp : (0274) 6460325

Hand Phone : 08156302495
Email :
Tardalang@yahoo.com

Tuesday, April 21, 2009

Gaya Ruwat Ki Taryono

Ki TARYONO
Dalang Ruwat Yogyakarta
UPACARA RUWATAN SETENGAH KELIR DI NGENTAK, BANGUNJIWA, KASIHAN, BANTUL

Asap kemenyan hampir memenuhi seluruh ruangan yang dijadikan tempat upacara ruwatan di Dusun Ngentak, Bangunjiwa, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Dilakukan oleh Ki Taryono Dalang Kondang dari Kergan, Tirtomulyo, Kretek, Bantul. Bau harum kemenyan demikian menyengat. Sajen ruwatan tertata dengan rapi pada enam buah meja. Sedangkan sajen lainnya diletakkan di tanah dan digantung di langit-langit tratag tempat upacara. Sebagian lagi digantungkan pada sisi kelir. Sementara itu di panggung, sang dalang dengan penuh keseriusan mementaskan lakon wayang Murwakala. Gambaran semacam itu secara umum juga dapat ditemukan di tempat upacara ruwatan yang lain di berbagai tempat di Jawa.

Pada upacara ruwatan semacam itu sajen yang disajikan untuk penyelenggaraan upacara ruwatan harus lengkap. Sajen itu di antaranya berupa tumpeng tujuh warna, tumpeng robyong, nasi ambeng lengkap dengan lauk pauknya, nasi gurih, ingkung ayam, pisang raja setangkep, cermin, gunting, pisau, nasi golong, boreh, beras dan uang sawur, 7 macam rujak, 7 macam jenang, jajan pasar, bantal, sapu lidi, pecut, kembang telon, uang wajib, kembang melati, kembar mayang, tumpeng kuning putih, tikar, kelapa gading, payung kertas, bakul dari bambu, siwur (gayung) kayu, ketupat, selongsong ketupat, sajen buwangan, pala gumantung, pala kesimpar, pala kependem, iwen-iwen (unggas), alat pertanian, gecok, padi, tebu, berbagai jenis kain, gudhangan, dan berbagai jenis burung khas peliharaan orang Jawa masa lalu (tekukur, perkutut, dan merpati).

Upacara ruwatan di Dusun Ngentak ini dilaksanakan untuk meruwat anak kedhana-kedhini yakni Siswinarno dan Siswinarni. Keduanya merupakan putra dari Bapak Praptosudiono. Kedhana-kedhini adalah istilah yang dikenakan pada dua orang anak, laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga inti. Kedhana-kedhini dalam pandangan masyarakat Jawa termasuk salah satu kategori sukerta. Untuk itulah kedhana-kedhini termasuk kategori orang yang harus diruwat. Jika hal itu tidak dilakukan, maka dipercaya bahwa anak tersebut akan mendapatkan berbagai halangan di dalam perjalanan hidupnya. Dalam kerangka itu orang yang bersangkutan akan menjadi mangsa dari Batara Kala.

Batara Kala adalah raksasa anak Dewi Uma dengan Batara Guru. Dalam dunia pewayangan diceritakan bahwa pada suatu ketika Dewi Uma dan Batara Guru berjalan-jalan dengan menaiki Lembu Andini yang dapat terbang. Perjalanan mereka sampai di atas sebuah samudera luas. Hari itu telah menapaki waktu senja. Cahaya matahari senja yang menerpa tubuh Dewi Uma nampak mempesonakan di mata Batara Guru. Seketika timbul hasrat berahinya. Di atas punggung Lembu Nandi itu pula Batara Guru mengajak Dewi Uma untuk bersetubuh. Namun hal ini ditolak oleh Dewi Uma. Akibat nafsu yang tidak terbendung air mani Batara Guru jatuh di atas samudera. Cerita tentang kehadiran Batara Kala sendiri setidaknya bisa dilihat pada sumber-sumber seperti Kakawin Partayajna, Sudamala, Smaradahana, Krsnakalantaka, Kitab Manikmaya, Sarasilah Wayang Purwa, dan Serat Kandhaning Ringgit Purwa.

Mani yang jatuh di atas samudera ini akhirnya menjelma menjadi raksasa yang bernama Kala. Ia meminta makan jenis manusia kepada Batara Guru. Batara Guru mengijinkan dengan syarat-syarat tertentu, yakni orang-orang yang digolongkan sebagai orang sukerta. Orang-orang yang termasuk sukerta ini selain kedhana-kedhini di antaranya adalah ontang-anting (anak tunggal laki-laki dalam sebuah keluarga), unting-unting (anak tunggal perempuan), kembang sepasang (dua anak perempuan), pandawa (anak lima laki-laki semua), dan sebagainya.

Akan tetapi Batara Narada, yang mencermati syarat-syarat yang diajukan Batara Guru itu, menilainya masih terlalu longgar. Demi menyelamatkan manusia dari Batara Kala kemudian diusulkan agar Batara Wisnu turun ke arcapada untuk meruwat Batara Kala. Caranya, Batara Wisnu menyamar menjadi dalang dengan nama Dalang Kanda Buwana.
Pada suatu ketika Batara Kala mengejar seorang pemuda yang bernama Jaka Jatusmati untuk dimangsa. Setelah beberapa kali bersembunyi Jaka Jatusmati bersembunyi di arena pementasan wayang yang dilakukan oleh Dalang Kanda Buwana. Di tempat ini Jaka Jatusmati mendapat perlindungan dari Dalang Kanda Buwana. Bahkan ia juga diruwat dan diaku anak oleh Dalang Kanda Buwana.

Semua rajah yang ada di tubuh Batara Kala pun dibaca oleh sang dalang. Dengan demikian, Batara Kala mengaku kalah. Untuk itu Batara Kala diperintahkan untuk tinggal di Alas Krendawahana, sebuah hutan yang dikenal angker atau kerajaan jin, setan, hantu, dan sebangsanya. Dengan itu pula Batara Kala dilarang mengganggu anak/orang yang telah diruwat oleh sang dalang sebab setiap anak yang diruwat secara otomatis menjadi anak angkat dari dalang yang meruwatnya. Batara Kala bersedia tinggal di Alas Krendawahana dengan syarat minta didoakan Santi Puja atau mantra penyucian.

Pementasan wayang Murwakala di Ngentak tersebut disebut dengan pakeliran setengah kelir. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa kelir yang digunakan untuk mementaskan wayang memang hanya digunakan setengahnya (dipelorotkan hingga separo). Sedangkan setengah bagian lainnya dibiarkan bolong atau terbuka. Alasannya, hal itu digunakan untuk tempat berdialog antara Dalang Kanda Buwana dan Batara Kala yang masuk ke arena pementasan wayang.

Pada prinsipnya urut-urutan acara upacara ruwatan adalah sebagai berikut. Pertama, pementasan wayang dengan lakon Murwakala. Pada pementasan itu semua orang yang diruwat duduk di belakang kelir dengan pakaian putih-putih (mori) untuk menandakan niat suci mereka. Di tempat itu mereka menyimak seluruh penceritaan sang dalang. Sesudah acara pementasan selesai orang yang diruwat dipotong ujung rambutnya oleh sang dalang. Ujung rambut ini nantinya akan dilarung bersama pakaian dalam dan kuku orang yang diruwat. Usai memotong rambut, orang yang diruwat dimandikan dengan air kembang sebagai bentuk penyucian diri. Setelah berganti pakaian kering mereka melakukan sungkeman kepada orang tua dan saudara tua. Acara ruwatan pun usai. Ayu, ayu swarga lan donya ginawe ayu……


Sumber : Tim Tembi: sartono, p.a. herjaka h.s
www.tembi.org

No comments: